Sabtu, 12 November 2016

PERKAWINAN DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN REPRODUKSI

PERKAWINAN DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN REPRODUKSI

Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata kuliah sosial budaya kesehatan


DISUSUN OLEH
KELOMPOK 2
DEVI ARISTA RIDA            16005
DWI MUNDARI                    16006
FANI IKA RAHMAWATI    16007
FATIMAH SAFITRI              16008


AKADEMI KEBIDANAN MITRA PERSAHABATAN
JAKARTA, 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang tiada henti-hentinya memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada kami semua sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini.
Dengan ini kami telah menyelesaikan tugas makalah “perkawinan ditinjau dari aspek kesehatan reproduksi”. Penyusunan makalah ini dapat terwujud tak lepas dari bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada :
1.        Drg. H. Roem wahab, MMPD Direktur akademi kebidanan mitra persahabatan
2.        Drg. Hj. Melianti Dosen materi mata kuliah teknik penulisan ilmiah
3.        Bpk. Adang SKM.M.kes selaku dosen materi mata kuliah sosial budaya kesehatan
4.        Seluruh kelompok yang membantu dalam penyusunan makalah ini
Dalam pembuatan makalah kami menyadari masih banyak kekurangan. Maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi memperbaiki kekurangan ataupun kekeliruan yang ada. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa kesehatan untuk menambah wawasan dalam bidang kesehatan.

                                                                                           Jakarta, November 2016



                                                                                                                Kelompok 2


          DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Tujuan Penulis............................................................................................. 3
1.3 Manfaat....................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN................................................................................... 4
2.1 Pengertian pernikahan................................................................................. 4
2.2 perkawinan usia muda................................................................................ 5
A. Resiko perkawinan muda.......................................................................... 6
B. Kelebihan pernikahan usia muda............................................................... 7
C. Kekurangan pernikahan usia muda............................................................ 7
D. Dampak perkawinan muda........................................................................ 8
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
perkawinan dalam usia muda.................................................................... 10
F. Upaya pencegahan terjadinya pernikahan muda........................................ 11
2.3 perkawinan usia tua.................................................................................... 11
A. Kekurangan pernikahan usia tua................................................................ 11
B. Faktor yang menyebabkan pernikahan usia tua.......................................... 12
C. Dampak pernikahan tua.............................................................................. 13
2.4 Pernikahan incest......................................................................................... 14
A. Gambaran incest diluar ikatan perkawinan................................................. 14
B. Perlindungan hukum................................................................................... 15
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 16
3.1 Kemsipulan................................................................................................. 16
3.2 Saran........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang ingin diinginkannya. Perkawinan sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga atau rumah tangga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan bahwa perkawinan itu hendaknya berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja.
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Usia perkawinan yang terlalu muda mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami-istri.Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) UU No. I tahun 74, yaitu perkawian hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam prakteknya masih banyak kita jumpai perkawinan pada usia muda atau di bawah umur, padahal perkawianan yang sukses membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun mental untuk bisa mewujudkan garapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga. Peranan orang tua sangat besar artinya bagi psikologis anak-anaknya. Mengingat keluarga adalah tempat pertama bagi tumbuh perkembangan anak sejak lahir hingga dengan dewasa maka pola asuh anak dalam perlu disebar luaskan pada setiap keluarga.
Perkawinan adalah ikatan sakral penyatuan sepasang anak manusia dengan konsekuensi hak dan kewajiban yang tidak mudah. Mengingat tanggung jawab yang komplek maka dibutuhkan kesiapan dan kedewasaan usia, mental, spiritual, dan kesiapan ekonomi.
Perkawinan bukanlah hal yang mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status lajang menjadi seorang istri yg menuntut adanya penyesuaian diri terus menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993).
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang pada umumnya berasal dari lingkungan yang berbeda terutama dari lingkungan keluarga asalnya, kemudian mengikatkan diri untuk mencapai tujuan keluarga yang kekal dan bahagia. Maka dengan adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dan berlakunya secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 yaitu sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mana dalam pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kedewasaan dalam hal Fisik dan rohani dalam perkawinan adalah merupakan dasar untuk mencapai tujuan dan cita-cita dari perkawinan, walaupun demikian masih banyak juga anggota masyarakat kita yang kurang memperhatikan atau menyadarinya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh lingkungan dan perkembangan sosial yang tidak memadai. Perkawinan tersebut harus ada persetujuan, dari kedua belah pihak calon mempelai secara sukarela tanpa ada paksaan dari pihak lain.
Hal ini demi kebahagiaan hidup yang diinginkan dalam perkawinan tersebut. Segala sesuatu yang akan dilaksanakan perlu direncanakan dahulu agar membuahkan hasil yang baik, demikian pula dengan hidup berkeluarga (perkawinan). Salah satu yang perlu direncanakan sebelum berkeluarga atau menikah adalah berapa usia yang pantas bagi seorang pria maupun seorang wanita untuk melangsungkan pernikahan.
Menurut ketentuan pasal 7 ayat (1) undang-undang no.1 tahun 1974 “bahwa perkawinan itu hanya di ijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam ketentuan ayat (2) undang-undang No.1 tahun 1974 menyatakan dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Degan demikian perkawinan usia muda ini adalah perkawinan yang para pihaknya masih relative muda.
Reproduksi adalah suatu proses kehidupan manusia dalam menghasilkan keturunan demi kelestarian hidup.
Masalah perkawinan dan kehamilan dini, ketidakmatangan secara fisik dan mental. Risiko komplikasi dan kematian ibu dan bayi lebih besar, kehilangan kesempatan untuk pengembangan diri remaja. Risiko untuk melakukan aborsi yang tidak aman.
Pekerja seks komersial seseorang yg menjual jasa seksual seperti seks oral atau hubungan seks dalam menyewakan tubuhnya untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggannya dan untuk mendapatkan uang.Pandangan pelacuran dikalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negative.

1.2         Tujuan Penulisan
1.      Memenuhi tugas kuliah sosial budaya kesehatan
2.      Membantu mahasiswa memahami materi “Pernikahan ditinjau dari aspek kesehatan reproduksi”
3.      Memberikan informasi terhadap pembaca tentang materi yang disajikan
4.      Mengetahui macam permasalahan kesehatan wanita mencangkup pekerja seks komersial dan drug abuse.
5.      Mengetahui penanganan permasalahan kesehatan wanita yang mencangkup pekerja seks komersial.

1.3    MANFAAT
1. Masyarakat mendapatkan pengetahuan tentang   kesehatan reproduksi yang       bermutu
2. Menerima    penyuluhan yang sehat serta dapat menerapkan hak-hak yang seharusnya di dapatkan oleh masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1      Pengertian Pernikahan
pernikahan adalah lambang disepakatinya suatu perjanjian (akad) antara seorang laki-laki dan perempuan  (dalam masyarakat tradisional hal itu juga merupakan perjanjian antar keluarga) atas dasar hak dan kewajiban yang setara antara kedua belah pihak.Penyerahan diri total seorang perempuan kepada laki-laki.Peristiwa saat seorang ayah secara resmi menyerahkan anak perempuannya kepada laki-laki untuk “dipakai” sesuka hati laki-laki itu.
Tujuan Pernikahan adalah untuk secara hukum mengesahkan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. untuk secara hukum mengatur hak dan kewajiban masing-masing termasuk di dalamnya pelarangan atau penghambatan terjadinya poligami.untuk pendataan dan kepentingan demografi.
Kriteria Keberhasilan Suatu Pernikahan,Kebahagiaan Suami Isteri,Hubungan yang baik antara orang tua dan anak,Penyesuaian yang baik antara anak-anak, Kemampuan untuk memperoleh kepuasan dari perbedaan pendapat,Kebersamaan,Penyesuaian yang baik dalam masalah keuangan, Penyesuaian yang baik dari pihak keluarga pasangan.
Perkawinan adalah ikatan sakral penyatuan sepasang anak manusia dengan konsekuensi hak dan kewajiban yg tidak mudah. Mengingat tanggung jawabnya yg komplek maka dibutuhkan kesiapan dan kedewasaan usia, mental, spiritual, dan kesiapan ekonomi.  
Perkawinan bukanlah hal yg mudah, di dalamnya terdapat banyak konsekuensi yang harus dihadapi sebagai suatu bentuk tahap kehidupan baru individu dewasa dan pergantian status lajang menjadi seorang istri ygmenuntut adanya penyesuaian diri terus menerus sepanjang perkawinan (Hurlock, 1993).
Individu yang memiliki kesiapan untuk menjalani kehidupan perkawinan akan lebih mudah menerima dan menghadapi segala konsekuensi persoalan yg timbul dalam perkawinan (Landis and Landis, 1963).

2.2  Perkawinan Muda
 Di Indonesia pernikahan dini sekitar 12-20% yang dilakukan oleh pasangan baru. Biasanya, pernikahan dini dilakukan oleh pasangan usia muda yang rata-rata umurnya antara 16-20 tahun. Secara nasional pernikahan dini dengan pasangan usia di bawah 16 tahun sebanyak 26,95%.
Padahal pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21-25 tahun sementara laki-laki 25-28 tahun. Karena diusia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis emosional, ekonomi dan sosial.
Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan yang matang dari ssatu sisi dapat mengindikasi sikap tidak appresiatif terhadap makna nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan dalam pernikahan.
                      Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 7 bahwa perkawinan diijinkan bila laki – laki berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Namun pemerintah mempunyai kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU No 10 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan upaya penyelenggaraan Keluarga Berencana. Banyaknya resiko kehamilan kurang dari perkawinan diijinkan bila laki – laki berumur 21 tahun dan perempuan berumur 19 tahun. Sehingga perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan bila pria kurang dari 21 tahun dan perempuan kurang dari 19 tahun
 Perkawinan Usia Muda adalah Pernikahan yang dilakukan oleh remaja di bawah umur (antara 13-18 tahun) yang masih belum cukup matang baik fisik maupun psikologis, karena berbagai faktor antara lain faktor ekonomi, sosial, budaya, penafsiran agama yang salah, pendidikan, dan akibat pergaulan bebas. Individu yang menikah pada usia muda akan cenderung bergantung pada orangtua secara finansial maupun emosional.
A.       Resiko Perkawinan Usia Muda
·           Konflik dalam perkawinan usia muda :
1.      Masalah kesehatan reproduksi
2.      Segi ekonomi
3.      Kurangnya kesabaran atau belum matang secara emosi.
4.      Kurangnya persiapan untuk hamil dalam usia muda,  juga berkaitan dengan defisiensi asam folat dalam tubuh.(Akibat kekurangan asam folat, janin dapat menderita spina bifida atau janin tidak memiliki batok kepala).

·           Ibu usia muda kemungkinan untuk memiliki anak dengan :
1.      berat bayi rendah.
2.      kurang gizi.
3.      dan anemia.
Ibu muda ini kemungkinan untuk menderita kanker servik nantinya.

·           Istri usia muda sering mengalami kebebasan dan otonomi yg terbatas dan tidak mampu kompromi mengenai :
1.      relasi,  
2.      seksual,
3.      penggunaan kontrasepsi,
4.      kehamilan, dan
5.       hal-hal lain di kehidupan berkeluarga
Ketidakmampuan kompromi mengenai penggunaan kondom menempatkan mereka pada posisi rentan untuk tertular IMS dan HIV/AIDS.

Setelah menikah perempuan muda biasanya terpaksa meninggalkan keluarga, teman, dan lingkungannya untuk pindah kelingkungan suami. Kehilangan dukungan sosial dan putus sekolah akan menganggu proses pendidikannya. Dengan keterbatasan, perempuan akan terisolasi dan sulit menerima informasi mengenaikesehatan reproduksi. Mereka sering kali tidak berdaya mengakses pelayanan kesehatan masyarakat.

Mereka perlu izin untuk mendapatkan pelayanan dan umumnya tidak mampu membayar pelayanan kesehatan. Pernikahan anak adalah pelanggaran hak seksual dan reproduksi termasuk hak untuk :
1.      Mendapatkan standar tertinggi kesehatan seksual
2.      Bebas dari paksaan, diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan
3.      Relasi seksual yang disepakati bersama
4.      Kehidupan seksual yang aman
5.      Memiliki pasangan dan pernikahannya
6.      Mendapat informasi dan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi
7.      Menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah, jarak dan waktu memiliki anak dan mendapat informasi tentang itu
8.      Mendapat pelayanan reproduksi dan seksual
B.      Kelebihan pernikahan usia muda
1.      Terhindar dari perilaku seks bebas, karena kebutuhan seksual terpenuhi.
2.      Menginjak usia tua tidak lagi mempunyai anak yang masih kecil.
C.       Kekurangan pernikahan usia muda
1.       Meningkatkan angka kelahiran sehingga pertumbuhan penduduk semakin meningkat.
2.      Ditinjau dari segi kesehatan, perkawinan usia muda meningkatkan angka kematian bayi dan ibu, risiko komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas
3.      Kematangan psikologis belum tercapai sehingga keluarga mengalami kesulitan mewujudkan keluarga yang berkualitas tinggi.
4.       Dituijau dari segi sosial, dengan perkawinan mengurangi kebebasan pengembangan diri, mengurangi kesempatan melanjutkan pendidikan jenjang tinggi.
5.       Adanya konflik dalam keluarga membuka peluang untuk mencari pelarian pergaulan di luar rumah sehingga meningkatkan risiko penggunaan minum alcohol, narkoba dan seks bebas.
6.       Tingkat perceraian tinggi. Kegagalan keluarga dalam melewati berbagai macam permasalahan meningkatkan risiko perceraian.
D.      Dampak Perkawinan muda
1.      Dampak biologis  
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak.

2.      Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

3.      Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bisa gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bisa gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.

4.      Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia. Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81, ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh bagi yang lain.

5.      Dampak terhadap suami
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada pasangan suami istri yang telah melangsungkan perkawinan di usia muda tidak bisa memnuhi atau tidak mengetahui hak dan kewajibannya sebagai suami istri. Hal tersebut timbul dikarenakan belum matangnya fisik maupun mental mereka yang cenderung keduanya memiliki sifat keegoisan yang tinggi.

6.      Dampak terhadap anak-anaknya
Masyarakat yang telah melangsungkan perkawinan pada usia muda atau di bawah umur akan membawa dampak. Selain berdampak pada pasangan yang melangsungkan perkawinan pada usia muda, perkawinan usia muda juga berdampak pada anak-anaknya. Karena bagi wanita yang melangsungkan perkawinan di bawah umur 20 tahun, bila hamil akan mengalami gangguan pada kandungannya dan banyak juga dari mereka yang melahirkan anak yang prematur.

7.      Dampak terhadap masing-masing keluarga
Selain berdampak pada pasagan suami-istri dan anak-anaknya perkawinan di usia muda juga akan membawa dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antarta anak-anak merka lancer, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak bahagia dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan mengkibatkan bertambahnya biaya hidup mereka dan yang palinng parah lagi akan memutuskan tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.
E.       Faktor- faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perkawinan Dalam Usia Muda
1.      Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di garis kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dikawinkan dengan orang yang dianggap mampu.

2.      Pendidikan
Rendahnya tingkat pendidikan maupun pengetahuan orang tua, anak dan masyarakat, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang masih dibawah umur.

3.      Faktor orang tua
Orang tua khawatir kena aib karena anak perempuannya berpacaran dengan laki-laki yang sangat lengket sehingga segera mengawinkan anaknya.

4.      Media massa
Gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian Permisif terhadap seks.

5.      Faktor adat
Perkawinan usia muda terjadi karena orang tuanya takut anaknya dikatakan perawan tua sehingga segera dikawinkan.
F.       Upaya Pencegahan terjadinya Pernikahan Muda
1.        Undang-undang perkawinan
2.        Bimbingan kepada remaja dan kejelasan tentang sex education
3.        Memberikan penyuluhan kepada orang tua dan masyarakat
4.        Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat
5.        Model desa percontahan kedewasaan usia perkawinan

2.3   Perkawinan Usia Tua
Telah didapatkan banyak bukti yang mengungkapkan bahwa semakintua seseorang pria, semakin besar  pula resiko memiliki anak yang tidak normal. Berbagai hasil studi menemukan adanya berbagai resiko, termasuk autisme dan schizophrenia pada anak yang lahir pada pria yang berusia 40 tahun. Sejumlah studi juga mengemukakan bahwa kesuburan pria akan menurun dengan bertambahnya usia.
Terdapat perbedaan antara pria dan wanita ; tidak bisa memiliki anak pada setelah usia tertentu (menoupause) kata dr. Harry Fisch, direktur Male Reproductive Centre di New york-Presbyterian Hospital, Columbia University Medical Centre. ”Tetapi tidak semua pria dijamin akan baik-baik saja”, tambahnya. ”Kesuburan akan menurun pada pria tertentu, namun pada pria lain, kesuburan akan tetap bertahan tetapi terdapat kemungkinan berisiko penurunan ketidak normalan genetis.
Perkawinan usia tua adalah perkawinan yang dilakukan bila perempuan berumur lebih dari   35 tahun.
A.      Kekurangan pernikahan usia tua
a. Meningkatkan angka kesakitan dan kematian ibu dan bayi. Kemungkinan risiko terjadi cacat mamae meningkat.
b.  Meningkatnya risiko kehamilan dengan anak kelainan bawaan.

B.         Faktor yang Menyebabkan Pernikahan Tua
1.      Belum bekerja
Ini masalah utama yang sering menghinggapi pemuda sehingga sekalipun telah merasa cocok dengan seorang wanita, dan jika ditunda akan menimbulkan fitnah, akan tetapi tenyata sang pemuda belum memiliki pekerjaan tetap untuk menghidupi keluarganya kelak, maka niat baik tersebut terpaksa harus tertunda.

2.      Belum lulus
Untuk alasan ini, berbeda dengan yang pertama. Masalah ini menghinggapi pemuda dan pemudi. Terkadang seorang pemuda sudah memiliki pekerjaan, dan sambil bekerja ia sekolah, akan tetapi studinya belum selesai maka pernikahan terpaksa tertunda, sampai selasainya di wisuda dan mendapatkan gelar, agar tampak ”terhormat” di undangan kalau kedua pasangan memiliki gelar didepan dan dibelakang namanya. Begitu pun pemudi, sekalipun dia telah sarjana, namun karena yang datang melamarnya adalah pemuda yang belum selesai kuliahnya, maka niat untuk menikah dicegah oleh keluarganya, ditunda sampai selesainya pendidikan calon pasangannya.

3.      Belum cocok
Mungkin sudah lulus, sudah bekerja, bahkan telah memiliki rumah sendiri, dan berusaha mencari calon pasangannya. Akan tetapi karena merasa belum ada yang cocok, sekalianpun keinginan untuk menikah sangat tinggi, tetapi karena tidak cocok baik dari segi harta, pendidikan, dan latar keturunan, ataupun lainnya sehingga niat baik untuk menikahpun menjadi tertunda.

4.      Belum mantap
Alasan belum mantap , biasanya didasarkan karena persiapan dirinya kurang, baik ilmu tentang pernikahan, keluarga, dan orang-orang yang ada disekitarnya. Termasuk didalam merasa belum mantap betul dengan calon pasangannya  karena belum dikenal dengan baik  ”luar” dan ”dalam”.

5.      Belum terlambat
Ada pemuda, begitu pun pemudi membuat standar usia dalam menuju gerbang pernikahan. Biasanya menjadikan standar usia tertentu, atau suatu target tertentu, misalnya usia remaja bagi laki-laki adalah 27 tahun, sehingga ketika belum mencapai usia yang bernaksud atau target yang dituju (S-2) atau belum tercapai cita-citanya, maka sebelum itu semua terpenuhi, dianggap belum terlambat untuk menikah.
C.        Dampak Pernikahan Tua
1.      Dampak negatif
a.       Masa tua merupakan perpanjangan dari masa sekarang, bedanya adalah kekuatan sudah jauh berkurang sehingga beban terasa lebih berat.
b.      Masa tua memperjelas ketidak harmonisan di antara pasangan menikah.
c.       Masa tua juga dapat melahirkan kebiasaan baru yang tidak dapat ditoleransi pasangan.
d.      Masa tua penuh kelemahan fisik yang menambah kerepotan, dulu repot mengurus anak sekarang repot mengurus pasangan sendiri. Bedanya adalah kerap kali lebih mudah mengurus anak daripada mengurus pasangan sendiri. Juga kelemahan fisik sering kali memperburuk frustrasi sehingga kita mudah jengkel dengan diri sendiri dan pasangan.
e.       Hormon-hormon reproduksi mulai berkurang sehingga kesehatan juga akan menurun
2.      Dampak positif
a.       Di masa tua cenderung tidak tergesa-gesa dan lebih sabar menunggu karena lebih dapat berbicara dengan lebih berlahan.
b.      Di masa tua cenderung lebih berhikmat dan memahami prioritas hidup dengan lebih tepat. Lebih menyadari hal-hal apa yang penting dan tidak penting dan apa itu yang merupakan kesia-sian hidup.
c.       Di masa tua seharusnya lebih takut akan tuhan dan lebih memntingkan hal rohani. Ini dapat menjadi kekuatan dan motivasi kita untuk membereskan masalah.

2.4     pernikahan Incest
Incest adalah hubungan seksual yang terjadi antar anggota keluarga. Anggota keluarga yang dimaksud adalah anggota keluarga yang mempunyai hubungan pertalian darah. Batas pertalian darah paling atas adalah kakek, paling bawah adalah cucu, batas kesamping adalah keponakan. Keluarga diluar itu bukan termasuk incest. Pelaku biasanya adalah orang yang lebih dewasa (lebih kuasa) dan korban lebih banyak adalah anak-anak. Sering terjadi pada anak tiri oleh bapak tiri, menantu oleh mertua, cucu oleh kakeknya.
Incest dapat terjadi karena saling suka atau saling cinta dan dapat juga terjadi akibat paksaan tanpa rasa cinta. Incest ada yang diluar perkawinan, namun ada juga yang sengaja dilakukan dalam ikatan perkawinan. Diluar negri, perkawinan incest diperbolehkan, sedangkan di Indonesia perkawinan incest tidak dibenarkan menurut hukum. Perkawinan di Indonesia dinyatakan sah dilakukan menurut agama. Sedangkan pencatatannya, bila agama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) dan selain agama Islam di Kantor Pencatatan Sipil. Sah tidaknya perkawinan di Indonesia berdasarkan ajaran agama masing-masing. Semua agama di Indonesia melarang perkawinan incest. Bila diketahui ada pertalian darah (muhrim dalam agama islam) sedangkan perkawinan telah dilakukan dan walaupun sudah mempunyai anak, maka perkawinan harus dibatalkan.
A. Gambaran incest di luar ikatan perkawinan
a.       Pelaku kebanyakan orang yang kerap berinteraksi dengan korban, tinggal dalam satu rumah.
b.      Korban mayoritas anak-anak sehingga tidak kuasa melakukan perlawanan diri. Biasanya dibawah tekanan karena ancaman pelakusehingga ketakutan atau diberi imbalan atau dengan bujuk rayu misalnya diberi uang atau makanan.
c.       Sering berakibat trauma fisik dan psikis.



B. Perlindungan Hukum
            Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) pasal 81-82 UUPKDRT, KUHP pasal 285, KUHP pasal 98, KUH Perdata pasal 1365.
Upaya Mengatasi :
a.       Waspada dalam mengasuh anak. Tidak membiasakan anak dirumah sendirian dengan anggota keluarga yang berlainan jenis.
b.      Tidak mengabaikan kata hati tiap ada gelagat yang menjurus pada tindakan pelecehan dalam keluarga.
c.       Memisahkan tempat tidur anak mulai umur 3 tahun dari ayah atau saudara baik sesama jenis kelamin maupun berlainan jenis kelamin.
d.      Perlu juga melibatkan orang lain diluar lingkungan keluarga.
e.       Lapor pada petugas penegak hukum walaupun dibawah ancaman pelaku



BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan       
Perkawinan muda adalah pernikahan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan yang di bawah umur. Dampak yang terjadi pada pernikahan muda yaitu dampak biologis, dampak psikis, dampak sosial, dampak perilaku seksual menyimpang, terhadap suami, terhadap anak-anaknya, dan dampak terhadap masing-masing keluarga. Faktor- faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan dalam usia muda yaitu ekonomi, pendidikan,  orang tua, media massa, dan adat.
Perkawinan usia tua  adalah perkawinan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan yang dengan umur yang sudah matang atau sudah dewasa. Faktor yang menyebabkan pernikahan tua yaitu belum bekerja, belum lulus, belum cocok, belum mantap, dan belum terlambat. Dampak dari pernikahan usia tua ada dampak negatif dan positif.

3.2  Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam memecahkan permasalahan kesehatan wanita dalam dimensi sosial.
Agar para remaja  mengetahui seabagaimana sebaiknya melakukan perkawinan dan agar tidak adanya perkawinan di bawah umur karena mempunyai dampak yang bisa merugikan mereka.




DAFTAR PUSTAKA

Romauli, Suryati dan Anna Vida Vindari, S.ST. 2009. Kesehatan Reproduksi buat Mahasiswi Kebidanan. Bantul: Nuha Medika.

Kumalasari, Intan dan Iwan Andhyantoro. 2012.  Kesehatan Reproduksi untuk Mahasiswa Kebidanan dan Keperawatan.. Jakarta: Salemba Medika.

Widyastuti, Yani dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Penerbit Fitramaya.

Manuaba, dr. Ida Ayu Chandranita, Sp. OG dkk. 2009. Memeahami kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC.